Research

  • Published Date: 27 Sep 2021
  • Modified Date: 27 Sep 2021

FAKTOR SOSIODEMOGRAFI DAN TINGGI BADAN IBU DENGAN KEJADIAN STUNTING DI DESA RANAH SINGKUANG WILAYAH KERJA PUSKESMAS KAMPAR

By. FITRI APRIYANTI S.ST, M.Keb

Masalah gizi terjadi di setiap siklus kehidupan, dimulai sejak dalam kandungan (janin), bayi, anak, dewasa dan usia lanjut. Periode dua tahun pertama kehidupan merupakan masa kritis, karena pada masa ini terjadi pertumbuhan dan perkembangan yang sangat pesat (Kemenkes RI, 2010). Salah satu masalah gizi yang diderita oleh balita yaitu stunting yang merupakan keadaan tubuh yang pendek atau sangat pendek yang terjadi akibat kekurangan gizi dan penyakit berulang dalam waktu lama pada masa janin hingga 2 tahun pertama kehidupan seorang anak (Black et al., 2008). Kekurangan tinggi terjadi pada 1000 hari pertama tersebut sebanyak tersebut 70% dan 30% pada usia antara 2 dan 5 tahun (Andrew, 2014).

Stunting (kerdil) adalah kondisi dimana balita memiliki panjang atau tinggi badan yang kurang jika dibandingkan dengan umur. Kondisi ini diukur dengan panjang atau tinggi badan yang lebih dari minus dua standar deviasi median standar pertumbuhan anak dari World Health Organization (WHO) (Buletin Stunting, 2018).

Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI tahun 2019 menyebutkan, Provinsi Riau menempati urutan ke 4 dari 34 Provinsi untuk persentase Balita stunting, yaitu sebesar 27.4%. Angka ini mengalami penurunan sebesar 2.3% jika dibandingkan dengan prevalensi stunting tahun 2017 yang berada pada angka 29,7%. Kabupaten Kampar merupakan salah satu dari 12 kabupaten/ kotamadya yang ada di Provinsi Riau yang menempati urutan ke dua dengan kejadian stunting yang tinggi. Kabupaten yang paling banyak balita stunting nya yaitu Rokan hulu 18.1%, Kampar 17.6%, diikuti dengan Meranti 13,3% dan Dumai 12.8%. Persentase stunting di Kabupaten Kampar naik sebesar 8%dari 9.6% ditahun 2017 menjadi 17.6% ditahun 2018 (Profil Kesehatan Provinsi Riau, 2018).

Puskesmas Kampar merupakan salah satu Puskesmas yang ada di Kabupaten Kampar yang mengalami peningkatan kejadian stunting, salah satu desa yang masih menjadi lokus stunting adalah desa ranah singkuang yang pada tahun 2011 kejadian stunting 12,26% meningkat menjadi 23,29% pada februari 2020 (Dinkes Kampar, 2020).

Stunting bukan hanya berdampak pada kematian dan peningkatan angka kesakitan pada balita tetapi juga berdampak pada tingkat kecerdasan, kerentanan terhadap penyakit, menurunkan produktifitas dan kemudian menghambat pertumbuhan ekonomi, meningkatkan kemiskinan dan ketimpangan pada setiap daerah yang memiliki masalah status gizi (Departemen Keuangan, 2017).

Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kejadian Stunting pada balita, antara lain ketahanan pangan, pola pengasuhan, pelayanan kesehatan dan kesehatan lingkungan selain itu kondisi kesehatan dan gizi ibu sebelum hamil dan saat kehamilan serta setelah persalinan juga mempengaruhi pertumbuhan janin dan risiko terjadinya Stunting. Faktor lainnya pada ibu yang mempengaruhi adalah postur tubuh ibu (pendek), jarak kehamilan yang terlalu dekat, ibu yang masih remaja, serta asupan nutrisi yang kurang pada saat kehamilan (Buletin Stunting, 2018).

Status sosial ekonomi keluarga seperti pendapatan keluarga, pendidikan orang tua, pengetahuan ibu tentang gizi, dan jumlah anggota keluarga secara tidak langsung dapat berhubungan dengan kejadian stunting. Hasil Riskesdas (2013) menunjukkan bahwa kejadian stunting balita banyak dipengaruhi oleh pendapatan dan pendidikan orang tua yang rendah. Keluarga dengan pendapatan yang tinggi akan lebih mudah memperoleh akses pendidikan dan kesehatan sehingga status gizi anak dapat lebih baik (Bishwakarma, 2011). Penelitian di Semarang menyatakan bahwa jumlah anggota keluarga merupakan faktor risiko terjadinya stunting pada balita usia 24-36 bulan (Nasikhah dan Margawati, 2012).

Tingkat ekonomi seseorang berhubungan erat dengan berbagai masalah kesehatan. Orang dengan tingkat ekonomi rendah akan lebih berkosentrasi terhadap pemenuhan kebutuhan dasar yang menunjang kehidupannya dan kehidupan keluarganya. Sebaliknya orang dengan tingkat ekonomi tinggi akan mempunyai kesempatan lebih besar dalam menempuh pendidikan dimana orang dengan tingkat ekonomi tinggi akan lebih mudah menerima informasi sehingga makin banyak pula pengetahuan yang dimiliki sehingga makin banyak pula pengetahuan yang dimiliki sehingga akan memperhatikan kesehatan diri dan keluarga (Notoadmojo.S, 2007).