Research

  • Published Date: 25 Mar 2022
  • Modified Date: 25 Mar 2022

ANALISIS PENGATURAN HAK ANGKET ANGGOTA DPR TERHADAP KPK DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA

By. Dr. RATNA RIYANTI S.H., M.H

Pengaturan hak angket Dewan Perwakilan Rakyat dalam sistem ketatanegaraan Indonesia pasca reformasi telah diatur dalam empat undang-undang yaitu, Undang-Undang No. 6 tahun 1954, Undang-Undang No. 22 tahun 2003, Undang-Undang No. 27 tahun 2009 dan Undang-Undang No. 17 tahun 2014; tiga putusan Mahkamah Konstitusi yaitu, Putusan MK Nomor 014/PUU-I/2003, Nomor 8/PUU-VIII/2010, dan Nomor 36/PUU-XV/2017; dan satu peraturan pelaksana yaitu Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Nomor 1 Tahun 2014 tentang Tata Tertib. Perbedaan pengaturan sangat terlihat dalam Undang-Undang Nomor 6 tahun 1954 jika dibandingkan dengan Undang-Undang yang lainnya. Hal ini disebabkan Undang-Undang Nomor  6 tahun 1954 dibentuk dengan dasar UUDS 1950 yang menganut sistem parlementer. Undang-Undang Nomor 22 tahun 2003 diuji di MK dan menghasilkan Putusan MK No. 014/PUU-I/2003 yang menyatakan, bahwa pengaturan “penyanderaan” yang menjadi instrumen hak angket untuk melaksanakan fungsi pengawasan DPR adalah konstitusional. Terjadi dualisme pengaturan saat dibentuknya Undang-Undang Nomor  27 tahun 2009 yang berakibat dibatalkannya Undang-Undang Nomor 6 tahun 1954 melalui Putusan MK No. 8/PUUVIII/ 2010. Undang-Undang Nomor 17 tahun 2014 diuji di MK disebabkan DPR menggulirkan hak angket ke KPK yang menghasilkan Putusan MK No. 36/PUU-XV/2017.