Pengaturan hak angket Dewan Perwakilan Rakyat dalam
sistem ketatanegaraan Indonesia pasca reformasi telah diatur dalam empat undang-undang
yaitu, Undang-Undang No. 6 tahun 1954, Undang-Undang No. 22 tahun 2003, Undang-Undang
No. 27 tahun 2009 dan Undang-Undang No. 17 tahun 2014; tiga putusan Mahkamah
Konstitusi yaitu, Putusan MK Nomor 014/PUU-I/2003, Nomor 8/PUU-VIII/2010, dan Nomor
36/PUU-XV/2017; dan satu peraturan pelaksana yaitu Peraturan Dewan Perwakilan
Rakyat Nomor 1 Tahun 2014 tentang Tata Tertib. Perbedaan pengaturan sangat
terlihat dalam Undang-Undang Nomor 6 tahun 1954 jika dibandingkan dengan Undang-Undang
yang lainnya. Hal ini disebabkan Undang-Undang Nomor 6 tahun 1954 dibentuk dengan dasar UUDS 1950
yang menganut sistem parlementer. Undang-Undang Nomor 22 tahun 2003 diuji di MK
dan menghasilkan Putusan MK No. 014/PUU-I/2003 yang menyatakan, bahwa
pengaturan “penyanderaan” yang menjadi instrumen hak angket untuk melaksanakan
fungsi pengawasan DPR adalah konstitusional. Terjadi dualisme pengaturan saat
dibentuknya Undang-Undang Nomor 27 tahun
2009 yang berakibat dibatalkannya Undang-Undang Nomor 6 tahun 1954 melalui
Putusan MK No. 8/PUUVIII/ 2010. Undang-Undang Nomor 17 tahun 2014 diuji di MK
disebabkan DPR menggulirkan hak angket ke KPK yang menghasilkan Putusan MK No.
36/PUU-XV/2017.