Stunting atau kekerdilan merupakan kondisi gagal tumbuh pada anak balita (bawah lima tahun) akibat kekurangan gizi kronis sehingga anak terlalu pendek untuk usia nya. Kekurangan gizi ini dapat terjadi sejak dalam kandungan dan pada masa awal kehidupan namun kondisi gagal tumbuh ini baru akan terlihat setelah bayi berusia dua tahun. Balita pendek (stunted) dan sangat pendek (severely stunted) adalah balita yang panjang badan (PB/U) dan tinggi badan (TB/U) menurut umurnya lebih rendah dibandingkan dengan standar baku WHO-MGRS (Multicentre Growth Reference Study) tahun 2006. Menurut Kementerian Kesehatan Indonesia, anak mengalami stunting jika nilai z-score nya kurang dari -2 SD/standar deviasi (stunted) dan kurang dari -3SD (severely stunted).
Percepatan penurunan stunting di Indonesia masih menjadi program prioritas pemerintah sebagai salah satu upaya pembangunan manusia untuk meningkatkan daya saing di masa depan. Di Indonesia, prevalensi stunting pada kelompok balita secara nasional tetap tinggi dalam kurun waktu 10 tahun terakhir. Menurut data Survei Status Gizi Indonesia (SGGI) tahun 2022, prevalensi stunting pada saat ini mengalami penurunan pada angka 24,4% menjadi 21,6%. Penurunan prevalensi stunting ini masih belum sesuai dengan target, yaitu menjadi 14% pada tahun 2024 (Kemenkes RI 2022).
Penyebab langsung dari stunting diketahui adalah kurangnya asupan zat gizi baik makro maupun mikro pada masa pra-hamil, hamil, dan masa balita. Selain ketersediaan bahan pangan yang berkualitas, perilaku gizi yang baik dari calon ibu maupun ibu merupakan faktor yang secara langsung menentukan asupan zat gizi (Yuliastini, Sudiarti, and Sartika 2020).
Praktik pemberian makan pada bayi dan anak (PMBA) juga merupakan salah satu faktor penting yang menentukan tingkat asupan zat gizi. PMBA saat ini merupakan salah satu bagian dari intervensi spesifik untuk mencegah terjadinya kasus stunting pada anak. Penelitian yang dimuat dalam The Lancet, Maternal Child Undernutrition Series, menunjukkan bahwa intervensi yang paling efektif dalam menurunkan angka stunting yaitu dengan peningkatan dan perbaikan pemberian makanan pendamping ASI (Bhutta et al. 2013). Indikator PMBA yang terbaik dari anak lahir hingga berusia 2 tahun meliputi melakukan Inisiasi Menyusui Dini (IMD), ASI Ekslusif, MP-ASI yang dimulai sejak usia 6 bulan dan meneruskan pemberian ASI hingga usia 2 tahun (Juherman et al. 2022).
Kecamatan Mandau yang berada di wilayah administratif Kabupaten Bengkalis merupakan salah satu lokus stunting yang telah berhasil melakukan upaya perbaikan gizi pada balita pendek dan sangat pendek. Data dari Bappeda Provinsi Riau menunjukkan bahwa pada tahun 2021 terdapat 1029 balita pendek dan sangat pendek di Kecamatan Mandau. Jumlah ini mengalami penurunan pada tahun 2023 menjadi 366 balita pendek dan sangat pendek.
Keberhasilan Kecamatan Mandau dalam upaya percepatan penanganan stunting, tidak terlepas dari peran dan upaya berbagai pihak. Strategi pelaksanaan percepatan penanganan stunting secara terkoordinir dan terintegrasi sesuai Peraturan Bupati Bengkalis Nomor 57 Tahun 2021, dilakukan dengan pendekatan Holistik, Integratif, Tematik dan Spesial (HITS) dengan lima pilar utama yang terdiri dari ; 1) peningkatan komitmen dan visi kepemimpinan bupati, 2) peningkatan komunikasi perubahan perilaku dan pemberdayaan masyarakat, 3) peningkatan konvergensi intervensi spesifik dan sensitif, 4) peningkatan ketahanan pangan dan gizi pada tingkat individu, keluarga dan masyarakat, 5) penguatan dan pengembangan sistem, data, informasi, riset, dan inovasi.
Mempertimbangkan pentingnya praktik pemberian makanan pada bayi bawah dua tahun sebagai salah satu upaya percepatan penurunan stunting, Tim Peneliti dari Program Studi Sarjana Gizi, Fakultas Ilmu Kesehatan, Universitas Pahlawan Tuanku Tambusai tertatik untuk melakukan studi kasus terkait praktik baik pemberian makanan pada bayi bawah dua tahun di Kecamatan Mandau, Kabupaten Bengkalis.