Keluarga merupakan bagian yang terpenting dalam
kehidupan manusia, yang terdiri atas ayah, ibu dan anak. Beberapa
ahli menguraikan arti keluarga sesuai dengan perkembangan masyarakat. Friedman
(2010) mengartikan keluarga adalah dua orang atau lebih yang disatukan oleh
kesamaan dan kedekatan emosional serta yang mengidentifikasi dirinya sebagai
bagian dari keluarga.
Anak merupakan bagian dari suatu keluarga.
Anak adalah seseorang yang berusia kurang dari delapan
belas tahun dalam masa tumbuh kembang dengan kebutuhan khusus baik kebutuhan
fisik, psikologis, sosial dan spiritual (Hidayat, 2009). Sedangkan menurut Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak mengatakan
bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun,
termasuk anak yang masih dalam kandungan. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan
Anak, mengatakan bahwa anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin. Anak adalah individu
yang tumbuh dan berkembang dalam keluarga.
Keluarga yang mempunyai anak mengharapkan anaknya
tumbuh secara normal baik fisik dan psikologisnya. Kenyataannya, tidak
setiap anak lahir dengan sempurna, ada anak yang lahir dengan kebutuhan-kebutuhan
khusus. Anak berkebutuhan khusus didefinisikan sebagai anak yang secara
signifikan berbeda dalam beberapa dimensi yang penting dari fungsi
kemanusiaannya. Mereka yang secara fisik, psikologis, kognitif atau sosial
terhambat dalam mencapai tujuan-tujuan/kebutuhan dan potensinya secara
maksimal, meliputi mereka yang tuli, buta, mempunyai gangguan bicara, cacat
tubuh, retardasi mental, atau gangguan emosional. Anak-anak yang berbakat
dengan inteligensi yang tinggi, dapat dikategorikan sebagai anak berkebutuhan
khusus/luar biasa, karena memerlukan penanganan yang terlatih dari tenaga
profesional (Suran & Rizzo, 1979 dalam Mangunsong, 2009).
American Association
on Mental Retardation (AAMR) mendefinisikan tentang keterbelakangan mental adalah kecacatan yang
terjadi sebelum usia 18 tahun
yang ditandai dengan keterbatasan yang signifikan dalam
fungsi intelektual dan perilaku adaptif seperti yang diungkapkan dalam
keterampilan adaptif konseptual, sosial dan praktis (Arc, 2004). Retardasi Mental adalah kemampuan mental
yang tidak mencukupi
dan merupakan suatu kondisi yang ditandai oleh
intelegensi yang rendah yang menyebabkan ketidakmampuan individu untuk belajar
dan beradaptasi terhadap tuntunan masyarakat atas kemampuan yang dianggap
normal (Soejiningsih, 2006) dalam (Mapossa 2018). Retardasi mental adalah ketidakmampuan yang
ditandai dengan fungsi intelektual yang rendah ( IQ < 70) dalam hubungannya
dengan keterbatasan yang signifikan dari fungsi adaptif (Singh et al. 2017).
World Health
Organization (WHO) tahun 2017, sekitar 15% dari
populasi dunia 785 juta orang memiliki cacat mental yang signifikan, termasuk
dari 5% dari anak-anak, menurut sebuah laporan baru disusun bersama oleh
organisasi kesehatan dunia (Washington Post, 2017) di Indonesia tahun 2017
terdapat 80.000 lebih penderita RM. Sekitar 3% dari populasi umum mempunyai
Intelegensia (IQ) kurang dari simpang baku dibawah rata-rata. Diperkirakan
bahwa 80-90% individu dalam populasi adalah retardasi mental dalam kisaran
ringan, sementara hanya 5% populasi dengan retardasi mental yang gangguannya
berat sampai sangat berat. Pada tahun 2018 ini terjadi peningkatan sekitar 25%
(Depkes RI, 2018).
Beberapa penelitian menyebutkan bahwa keluarga
dengan anak retardasi mental menunjukkan kecemasan yang dihubungkan dengan
beratnya tingkat retardasi mental pada anak. (Hassall, Rose, dan McDonald 2005) menambahkan
dalam penelitiannya bahwa kecemasan pada keluarga disebabkan oleh stigma sosial
tentang anak retardasi mental dan ketidakmampuan keluarga dalam mengelola
stres. Hal ini akan berpengaruh terhadap kemampuan keluarga dalam melakukan
perawatan anak sehingga dapat menghambat perkembangan anak retardasi mental.
Bentuk penatalaksanaan terhadap keluarga anak retardasi mental, semakin
memperkuat konsep bahwa diperlukan intervensi tidak hanya pada anaknya, tetapi
keluarga sebagai sebuah sistem juga memerlukan intervensi pula.
Salah satu intervensi yang dilakukan yaitu
memberikan pendidikan kesehatan tentang retardasi mental kepada keluarga.
Pendidikan kesehatan adalah salah satu strategi/metode dalam pembelajaran.
Pendidikan kesehatan berpengaruh terhadap perilaku kesehatan sebagai hasil
jangka menengah yang akan berpengaruh pada meningkatnya indikator kesehatan
pada individu sebagai keluaran (outcome).
Pendidikan kesehatan adalah suatu usaha untuk menyediakan kondisi psikologis
dan sasaran agar mereka berperilaku sesuai tuntutan nilai-nilai kesehatan
(Notoadmodjo, 2010) dan bertujuan untuk menurunkan kecemasan keluarga yang
memiliki anak dengan retardasi mental.
Penelitian yang dilakukan oleh (Kurniawan, Armiyati, dan Astuti 2020) dengan judul
pengaruh pendidikan kesehatan terhadap tingkat kecemasan pada pasien pre
operasi hernia skrotalis didapatkan hasil ada pengaruh yang signifikan yaitu dengan p value = 0,000 ? ? (0,05).
Penelitian lain yang dilakukan oleh (Fadli, Toalib, dan Kassaming 2019) dengan
judul pengaruh pendidikan kesehatan
terhadap tingkat kecemasan pada pasien pre operasi mayor Di Rumah Sakit Nene
Mallomo Kabupaten Sidenreng Rappang didapatkan hasil ada pengaruh dengan nilai
p 0,001 ? 0,05.
Studi pendahuluan yang dilakukan terhadap 5 orang
keluarga yang sedang menunggu anaknya di SLB Negeri Bangkinang Kota didaptkan
hasil bahwa keluarga tersebut mengalami kecemasan yang ditunjukkan dengan
sesekali menarik napas pendek, muka berkerut dan bibir bergetar, tangan
meremas, gelisah saat duduk. Hal ini menunjukkan bahwa keluarga anak dengan
retardasi mental mengalami kecemasan.
Berdasarkan uraian diatas, peneliti tertarik untuk
melakukan penelitian dengan judul “pengaruh pendidikan kesehatan terhadap
tingkat kecemasan keluarga dengan anak retardasi mental di SLB Negeri
Bangkinang Kota”.