Research

  • Published Date: 20 Feb 2024
  • Modified Date: 20 Feb 2024

PENGARUH PENDIDIKAN KESEHATAN TERHADAP TINGKAT KECEMASAN KELUARGA DENGAN ANAK RETARDASI MENTAL DI SLB NEGERI BANGKINANG KOTA

By. Ners NIA APRILLA S.Kep, M.Kep

Keluarga merupakan bagian yang terpenting dalam kehidupan manusia, yang terdiri atas ayah, ibu dan anak. Beberapa ahli menguraikan arti keluarga sesuai dengan perkembangan masyarakat. Friedman (2010) mengartikan keluarga adalah dua orang atau lebih yang disatukan oleh kesamaan dan kedekatan emosional serta yang mengidentifikasi dirinya sebagai bagian dari keluarga. Anak merupakan bagian dari suatu keluarga.

Anak adalah seseorang yang berusia kurang dari delapan belas tahun dalam masa tumbuh kembang dengan kebutuhan khusus baik kebutuhan fisik, psikologis, sosial dan spiritual (Hidayat, 2009). Sedangkan menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak mengatakan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, mengatakan bahwa anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin. Anak adalah individu yang tumbuh dan berkembang dalam keluarga.

Keluarga yang mempunyai anak mengharapkan anaknya tumbuh secara normal baik fisik dan psikologisnya. Kenyataannya, tidak setiap anak lahir dengan sempurna, ada anak yang lahir dengan kebutuhan-kebutuhan khusus. Anak berkebutuhan khusus didefinisikan sebagai anak yang secara signifikan berbeda dalam beberapa dimensi yang penting dari fungsi kemanusiaannya. Mereka yang secara fisik, psikologis, kognitif atau sosial terhambat dalam mencapai tujuan-tujuan/kebutuhan dan potensinya secara maksimal, meliputi mereka yang tuli, buta, mempunyai gangguan bicara, cacat tubuh, retardasi mental, atau gangguan emosional. Anak-anak yang berbakat dengan inteligensi yang tinggi, dapat dikategorikan sebagai anak berkebutuhan khusus/luar biasa, karena memerlukan penanganan yang terlatih dari tenaga profesional (Suran & Rizzo, 1979 dalam Mangunsong, 2009). 

American Association on Mental Retardation (AAMR) mendefinisikan tentang keterbelakangan mental adalah kecacatan yang terjadi sebelum usia 18 tahun yang ditandai dengan keterbatasan yang signifikan dalam fungsi intelektual dan perilaku adaptif seperti yang diungkapkan dalam keterampilan adaptif konseptual, sosial dan praktis (Arc, 2004). Retardasi Mental adalah kemampuan mental yang tidak mencukupi dan merupakan suatu kondisi yang ditandai oleh intelegensi yang rendah yang menyebabkan ketidakmampuan individu untuk belajar dan beradaptasi terhadap tuntunan masyarakat atas kemampuan yang dianggap normal (Soejiningsih, 2006) dalam (Mapossa 2018). Retardasi mental adalah ketidakmampuan yang ditandai dengan fungsi intelektual yang rendah ( IQ < 70) dalam hubungannya dengan keterbatasan yang signifikan dari fungsi adaptif (Singh et al. 2017).

World Health Organization (WHO) tahun 2017, sekitar 15% dari populasi dunia 785 juta orang memiliki cacat mental yang signifikan, termasuk dari 5% dari anak-anak, menurut sebuah laporan baru disusun bersama oleh organisasi kesehatan dunia (Washington Post, 2017) di Indonesia tahun 2017 terdapat 80.000 lebih penderita RM. Sekitar 3% dari populasi umum mempunyai Intelegensia (IQ) kurang dari simpang baku dibawah rata-rata. Diperkirakan bahwa 80-90% individu dalam populasi adalah retardasi mental dalam kisaran ringan, sementara hanya 5% populasi dengan retardasi mental yang gangguannya berat sampai sangat berat. Pada tahun 2018 ini terjadi peningkatan sekitar 25% (Depkes RI, 2018).

Beberapa penelitian menyebutkan bahwa keluarga dengan anak retardasi mental menunjukkan kecemasan yang dihubungkan dengan beratnya tingkat retardasi mental pada anak. (Hassall, Rose, dan McDonald 2005) menambahkan dalam penelitiannya bahwa kecemasan pada keluarga disebabkan oleh stigma sosial tentang anak retardasi mental dan ketidakmampuan keluarga dalam mengelola stres. Hal ini akan berpengaruh terhadap kemampuan keluarga dalam melakukan perawatan anak sehingga dapat menghambat perkembangan anak retardasi mental. Bentuk penatalaksanaan terhadap keluarga anak retardasi mental, semakin memperkuat konsep bahwa diperlukan intervensi tidak hanya pada anaknya, tetapi keluarga sebagai sebuah sistem juga memerlukan intervensi pula.

Salah satu intervensi yang dilakukan yaitu memberikan pendidikan kesehatan tentang retardasi mental kepada keluarga. Pendidikan kesehatan adalah salah satu strategi/metode dalam pembelajaran. Pendidikan kesehatan berpengaruh terhadap perilaku kesehatan sebagai hasil jangka menengah yang akan berpengaruh pada meningkatnya indikator kesehatan pada individu sebagai keluaran (outcome). Pendidikan kesehatan adalah suatu usaha untuk menyediakan kondisi psikologis dan sasaran agar mereka berperilaku sesuai tuntutan nilai-nilai kesehatan (Notoadmodjo, 2010) dan bertujuan untuk menurunkan kecemasan keluarga yang memiliki anak dengan retardasi mental.

Penelitian yang dilakukan oleh (Kurniawan, Armiyati, dan Astuti 2020) dengan judul pengaruh pendidikan kesehatan terhadap tingkat kecemasan pada pasien pre operasi hernia skrotalis didapatkan hasil ada pengaruh yang signifikan  yaitu dengan p value = 0,000 ? ? (0,05). Penelitian lain yang dilakukan oleh (Fadli, Toalib, dan Kassaming 2019) dengan judul  pengaruh pendidikan kesehatan terhadap tingkat kecemasan pada pasien pre operasi mayor Di Rumah Sakit Nene Mallomo Kabupaten Sidenreng Rappang didapatkan hasil ada pengaruh dengan nilai p 0,001 ? 0,05.

Studi pendahuluan yang dilakukan terhadap 5 orang keluarga yang sedang menunggu anaknya di SLB Negeri Bangkinang Kota didaptkan hasil bahwa keluarga tersebut mengalami kecemasan yang ditunjukkan dengan sesekali menarik napas pendek, muka berkerut dan bibir bergetar, tangan meremas, gelisah saat duduk. Hal ini menunjukkan bahwa keluarga anak dengan retardasi mental mengalami kecemasan.

Berdasarkan uraian diatas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “pengaruh pendidikan kesehatan terhadap tingkat kecemasan keluarga dengan anak retardasi mental di SLB Negeri Bangkinang Kota”.