Pentingnya
pendidikan bagi masyarakatnya sebenarnya
telah
menjadi salah satu agenda negara sebagaimana dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) Negera Republik Indonesia tahun 1945 yang menyatakan bahwa salah satu tujuan Negara Republik Indonesia adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Tentunya hal ini bisa terwujud dengan adanya peran
serta guru dan
orang tua dalam mendidik
masyarakat, khususnya anak-anak. Guru TK (Taman Kanak-Kanak) terutamanya mempunyai peran penting
dalam membentuk karakter anak karena sejak TK nilai- nilai kehidupan mulai ditanamkan.
Adapun
peran orang tua nantinya akan berpengaruh pada pendampingan anak didiknya
dalam belajar, apalagi jika berhadapan dengan tantangan baru, pengaruh
smartphone yang sedikit banyak mengganggu pola belajar anak. Saat ini bermain smartphone menjadi kegiatan yang tidak bisa dipisahkan dalam kehidupan anak. Pola bermain
smartphone anak secara
umum masih sangat menghawatirkan, bahkan, anak lebih banyak menghabiskan waktu untuk
bermain smartphone dibandingkan
dengan di sekolah (Sumber: kompas.com diakses 28/11/11).
Apa yang ditonton atau dimainkan anak di smartphone tentunya akan
mempengaruhi
pola
berpikir mereka, apalagi jika
yang ditonton atau dimainkan adalah sesuatu yang negatif. Pada
tahun 2001, The Committee
on Public Education of the American Academy of Pediatrics (AAP) menyataan bahwa kekerasan pada game atau yang ditonton anak pada smartphone berdampak pada perilaku kekerasan pada anak (AAP:2011). Lebih lanjut, psikolog anak, Rose
Mini, mengatakan, anak sangat mudah terpengaruh media audio dan visual
seperti smartphone karena stimulus yang lebih intens dan lebih menarik bagi anak. Melalui smartphone, pola pikir anak
cenderung konkret, apa yang dilihat dianggap benar
sehingga anak dikhawatirkan akan meniru
mentah-mentah apa yang
ditonton atau mainkan dari smartphone (Sumber: kompas.com diakses 28/11/11). Tentunya peristiwa smackdown yang menghebohkan beberapa waktu lalu belum terhapus dari ingatan. Dari peristiwa tersebut boleh diketahui bahwa anak cenderung menirukan apa yang ditonton atau mainkan di smartphone, bahkan mereka tidak segan-segan melakukan kekerasan. Selain itu ada juga kasus ketika
seorang bocah di Surabaya yang nekat menelan cincin logam hanya gara-gara ingin menirukan
aksi Limbad,
seorang pesulap yang ditonton di channel youtube pada smartphone.
Kejadian-kejadian tersebut tentunya bisa dihindari apabila orang tua dapat memberikan
pengertian terhadap anak didiknya
mengenai efek negatif dari bermain smartphone sehingga akhirnya anak sedikit banyak bisa mempunyai pemahaman untuk tidak meniru perilaku negatif yang ada
di smartphone.
Hal yang
lebih memprihatinkan, selain efek buruk dari aksi meniru adegan yang
ditonton atau mainkan di smartphone adalah waktu yang
dihabiskan oleh anak-anak tersebut untuk
bermian dan menonton tayangan di smartphone. Yayasan Pendidikan Media dan Anak menyebutkan, rata-rata anak Indonesia
bermain smartphone selama 3,5-5 jam sehari, itu berarti sama dengan
127, 5-1820 jam per tahun, padahal jam belajar anak sekolah dasar menurut UNESCO harus tidak boleh melebihi 1000 jam per tahun (Sumber: kompasiana.com, diakses
12/11/2011).
Hal ini menunjukkan bahwa tingkat ketergantungan anak terhadap smartphone sangatlah tinggi. Tentunya dengan terpaan smartphone yang tinggi tersebut anak akan terpengaruh dengan apa yang dilihatnya di smartphone. Postman bahkan berkesimpulan bahwa bermain dan menonton smartphone tidaklah memperbaiki proses belajar, malah justru cenderung kurang mengembangkan kemampuan berpikir anak dalam tingkat kompleksitas yang tinggi (Postman, 2001:159) Selain itu, dari segi kesehatan, sebuah penelitian mengungkapkan bahwa anak berusia enam tahun yang bermain smartphone terlalu lama berisiko terkena penyakit jantung di masa depan (Sumber : tempointeraktif.com, diakses 11/11/2011). Bahkan, IDI (Ikatan Dokter Indonesia) menyebutkan bahwa terlalu banyak bermain dan menonton smartphone dapat berpengaruh pada pada perkembangan otak anak usia 0-3 tahun yang dapat menimbulkan gangguan perkembangan bica